Jumat, 24 Januari 2014

keajaiban membuka mata



Keajaiban Membuka Mata
“alamatnya di mana dek ?”Tanya suara itu pelan senyap dan hilang lalu kembali gelap, perlahan dia melihat sosok laki-laki besar di balik cahaya titik terjauh dia memandang, betapa terkejutnya gadis itu melihat dirinya tiba-tiba berada di ruang tanpa sudut dan hanya satu titik cahaya.  Matanya berkeliling dengan perasaan takut untuk mencari celah, tetapi tetap saja tubuhnya yang terlanjur mengalir rasa ketakutan membuat tubuhnya mematung, semakin bayangan sosok laki-laki itu mendekat, semakin aliran darahnya membeku, keringat menuruni setiap celah kulitnya, terdengar suara kasar seakan berbisik padanya, apa yang kamu lakukan di sini?. Gadis itu hanya menatap sosok hitam yang sebentar lagi akan menelan hidupnya, tetapi aneh ketika bayangan itu sudah menjarah dingin di sekitarnya, secepatnya bayangan itu hilang dan beberapa detik hingga akhirnya ia bisa bernafas lega bersamaan itu pula terasa guncangan pelan dan perlahan tubuhnya seakan terangkat dan Brukkkkk……
“awwwww” sahutnya dengan suara kesakitan agak terlambat, orang yang berada di samping gadis itu langsung menatapnya sinis, orang tua yang berada setelah tatapan sinis itu tertawa bersamaan dengan suara yang menanyakan alamat padanya. Sambil memegangi kepalanya yang terbentuk di atap mobil, gadis itu memperhatikan sekitarnya, aku masih berada di mobil pikirnya memperbaiki kembali posisinya, sambil mencari buku yang tanpa sengaja dijatuhkannya saat kepalanya terbentur, malaikat mimpi sepertinya senang masuk ditidurku, pikirknya sambil memperhatikan sampul novel yang baru saja di bacanya, buku yang berjudul “Jack The Giant Slayer” oleh Darren Lemke dan David Dobkin yang menceritakan tentang petualangan jack mengalahkan para Raksasa,lagi-lagi buku ini membuatku bermimpi buruk, benar-benar buruk. pikirnya lagi memasukkan buku itu ke tas ranselnya.
“alamatnya dimana dek?” tanya pak supir mengulang pertanyaannya karena tadi gadis yang menjadi penumpangnya itu tidak menjawab saat melihatnya tertidur.
“saya tinggal di dekat pasar sentral pak, tapi turunnya di Jalan Jenderal Sudirman saja “ katanya kembali melihat keluar jendela hanya beberapa menit lagi dia bisa sampai di kota kelahirannya, Pinrang berseri, pikirnya lagi sekejap menutup mata. Tangan kanannya menjulur pelan keluar jendela merasakan angin yang bertiup menyentuh pori-pori kulitnya. Kerinduan akan kotanya sudah lama ia rasakan, tapi baru kali ini dia akan kembali seutuhnya dan menetap setelah kelulusannya di Universitas Makassar dan meraih gelar pendidikan S1, rencananya dia akan mengajar di sekolah unggulan yang terdapat di Pinrang sebagai guru Bahasa Indonesia.
“terima kasih pak” kata gadis itu setelah membayar dengan uang pas dan tiba tepat di tempat tujuannya, sambil menarik nafas dia kembali memperhatikan bangunan yang berdiri kokoh tepat didepannya, gerbang yang terbuka bebas, pepohonan yang menari-nari bersama angin, diluar gerbang terlihat beberapa warung kecil yang siap menyambut para pendatang. Tidak seperti tempat lainnya tempat ini sudah menjadi jantung kota Pinrang,’Mesjid Al-Munawwir’ ya…tempat ini menurutku bukan tempat biasa, mesjid ini merupakan mesjid yang dibangun pada saat kemimpinan Bupati Andi Nawir, sesuai dengan nama Beliau mesjid ini diberi nama Al-Munawwir, selain tempat ibadah tempat ini dijadikan tempat beristirahat, suguhan dua buah kolam yang berisi banyak jenis ikan emas (begitulah di daerah kami menyebutnya) ukurannya cukup besar, jika ingin melihat ikan ini bermunculan jinak di tepi kolam, pengunjung biasanya membawa beberapa jenis makanan yang memang diperbolehkan oleh penjaga yaitu mie kering, makanan ikan dan uniknya lagi, ikan ini juga menyukai roti tawar yang dicabik kecil lalu dilemparkan ke kolam, pohon yang berjajar rapi di tepi kolam dan kolam air mancur membuat tempat ini menjadi tempat favorit gadis itu, sebelum ia kembali kerumahnya, tidak pernah dia melewatkan tempat ini.
“ hei Ra,,!”sahut seseorang dari belakang memperhatikan baik-baik gadis yang memintanya datang, memastikan orang yang dilihatnya benar-benar Rara.
“kak Fais…!” balas Rara menepuk tanganya sendiri membersihkan sisa-sisa makanan yang sudah habis bersamaan dengan kedatangan laki-laki yang bernama Fais kakak kelas Rara saat masih SMP sekaligus teman Rara dan juga menurutnya laki-laki itu tidak lebih sebagai motivator bagi dirinya.
“selamat..”ujar Fais menjulurkan tanganya untuk berjabat tangan pada Rara, sebagai ucapan kelulusannya dan diterimanya dia menjadi guru. Beribu kekaguman selalu memutar di pikiran Rara ketika melihat laki-laki ini, laki yang sudah menjadi teman cerita di Facebook, Twitter, SMS dan selalu menjadi laki-laki yang siap memberikan nasehat dan semangat ketika Rara menghadapi masalah, siap membantunya ketika dia butuh bantuan tentang perkuliahannya hingga akhirnya peran Fais dibelakang layar membuat Rara selalu bersemangat.’apa yang aku pikirkan sekarang?’ lagi-lagi suara itu membuatnya tersadar akan sosok laki-laki yang sudah duduk disampingnya.’Ra…sadar dia sudah menjadi milik temanmu sendiri, dia percaya padamu’.
“hei…” panggil Fais membuyarkan lamunan Rara, sambil menunjuk ke dalam mesjid dan menunjukkan jam padanya “shalat ashar..!”guman Rara berdiri diikuti Fais masuk terpisah ke mesjid.
“sudah hampir malam” guman Rara memperhatikan jam digital di Hpnya.
“sepertinya akan turun hujan” lanjut Fais melihat langit yang tertutup awan gelap, mereka pergi secara terpisah walau Rara sempat berpikir untuk mendapatkan tumpangan dari Fais. Rara melangkahkan kakinya seirama dengan angin yang bertiup, gerimis membasahi jilbab gadis itu dan dengan langkah dipercepat setengah berlari dia menghampiri pos ojek yang berada tidak terlalu jauh dari mesjid.
“mau kemana dek..?” sahut tukang ojek menghampiri Rara yang berteduh.
“ke Jalan Melati pak,”
“Neng Rara toh..!” ujar tukang ojek satunya berdiri menghampirinya.
“pak Joko” katanya berbalik suara tukang ojek yang tidak asing ditelinganya itu mengingatkan pada tetangganya sendiri, dan benar saja setelah memperhatikan laki-laki berumur 50 tahun dengan dialek Jawa yang tidak pernah berubah dan sangat kental terus melekat diingatannya tentang keluarga pak joko yang sudah menjadi tetangganya empat tahun lalu, dan pak joko seperti bagian keluarganya sendiri. Setelah beberapa menit hujan yang tadinya begitu deras akhirnya mereda walau rintik-rintik masih enggan berhenti, dengan diantar oleh pak joko sendiri, Rara tiba di rumahnya, kakinya terhenti memperhatikan rumah kontrakannya, berharap seseorang berdiri di depan pintunya tertawa menyambut kedatangannya. ‘Ayah, ibu dan adik-adikku’ pikirnya kembali mengayunkan langkah membuka pintu, dua tahun ia meninggalkan rumah kontrakannya dan kini rumah ini akan menjadi saksi apa yang akan dilakukannya di kota ini. Setelah memasuki rumah dan melihat-lihat, suasananya masih sama meski Rara menyebutnya rumah kontrakan tetapi sebenarnya rumah ini bukan lagi kontrakan tetapi sudah menjadi miliknya sejak dua tahun lalu, Rara membuka pintu kamar, keadaan rumah begitu bersih dan tanpa debu sedikitpun, berkat istri pak joko yang selalu datang membersihkan rumah ini.  Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur mengingat kakeknya yang sudah memberikan rumah ini atas namanya,’besok aku harus ke makam kakek’.
“kak Rara….”sahut seseorang dari luar
“Rasmi…” ujar Rara menghampiri suara gadis itu, tidak lama kemudian terdengar tiga suara anak laki-laki berlarian masuk memanggil nama Rara, mereka berempat adalah anak pak joko, mendengar kedatangan Rara mereka langsung melompat pagar jalan tercepat masuk ke halaman rumah Rara.
“kamu sudah kelas berapa sekarang?”katanya menyambut anak-anak itu dan tidak lupa ia memberikan oleh-oleh yang dibelinya saat perjalanan pulang.
“kelas 1 SMA, masa kakak lupa ! kemarinkan aku nelpon kakak, aku diterima di SMA unggulan itu dan kakak memberitahuku kalau kakak akan mengajar di sekolah kami” ujar Rasmi merangkul manja dilengan Rara.
            Sebulan berlalu Rara begitu menikmati profesinya sebagai pengajar, kecintaannya pada cita-cita yang sudah lama menoreh sejak kecil itu membuatnya begitu menikmati kehidupannya, tetapi dibalik senyum gadis itu tidak lengkap, tanpa kehadiran ayah dan ibunya. Rara masih ingat betul kejadian yang membuatnya harus diusir dan hidup sendiri di kota Makassar membiayai kuliahnya sendiri, dan terkadang kakeknya membantunya sedikit, kejadian itu saat Rara sudah lulus SMA dan ingin sekali melanjutkan pendidikannya, tetapi Rara tidak bisa berkutik saat sebulan kemudian orang tuanya memberitahu tanggal pernikahannya, usia 16 tahun menurut keluarga adalah umur yang sudah cukup untuk menikah, Rara hanya bisa terdiam saat acara Mappattuada (bugis pinrang yang berarti lamaran kedua yang menentukan hari pernikahan) sudah Pattu (sudah diputuskan). Hidup dikeluarga yang miskin dan orang tua yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah dan buta huruf membuat keputusan satu-satunya bagi wanita seusia Rara harus dilepaskan kepada orang lain atau suami, pemikiran seperti itu terutama di daerah terpencil kota pinrang adalah hal yang wajar, dihari pernikahannya dengan menggunakan Sigara (baju yang dipakai dalam pernikahan adat bugis pinrang) melekat indah ditubuhnya sesaat sebelum bertemu dengan mempelai pria dan Ijab Qabul, matanya sembab gara-gara menangis, tatapannya kosong, meski dikamarnya sudah disulap seindah mungkin, tetap saja wajahnya tak pernah menyetujui, dia tidak ingin mimpinya terhenti hanya gara-gara pernikahan sepihak ini, entah bisikan apa yang membuatnya tiba-tiba berdiri menuju pintu menyuruh anak-anak kecil yang sejak tadi mengelilinginya keluar, dan mengunci pintu. Tanpa berpikir Rara mencopot satu persatu Pakaian yang digunakannya, Make up diwajahnya secepat dihapus, Rambutnya yang keras akibat riasan dibiarkan begitu saja, dia meraih ponsel milik abangnya dan beberapa lembar uang yang lumayan banyak dimasukkan dalam tas kecilnya, uang itu  masih menjadi miliknya dia tidak lagi menghitung seberapa banyak uang dibawanya, seingatnya uang bertuliskan 10 juta di ikatan uang kertas merah itu terbaca jelas.
            Hari itu Rara tidak pernah berpikir bagaimana ia bisa lolos dari keramaian orang dengan langkah hati-hati dan menutupi wajahnya dengan jilbab dan topi, Rara berlari memanggil ojek dan membawanya sejauh ia bisa hilang dari keluarganya, dengan menggunakan pete-pete ia menuju ke kota pare-pare dan di sanalah Rara baru sadar apa yang dilakukannya sekarang dan mengapa ia bisa sejauh ini dari rumahnya sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukannya Rara meraih Hp abangnya dan menghubungi Nomor yang sudah dihafalnya.
Terdengar suara motor berhenti dibelakangnya, saat itu hari mulai gelap dan Rara menikmati kaburnya di tepi pantai Pare-pare sendiri menunggu kedatangan seseorang.
“kamu gila?” ujar seseorang tiba-tiba meletakkan helmnya disamping Rara dan ikut duduk.
“aku tidak tahu harus kemana?”guman Rara pelan, dia tidak bisa lagi menangis air matanya seperti terkuras kering.
“biar aku yang membawamu pulang”bujuk Fais menarik lengan Rara, dia hanya mengikuti Fais dan tidak berpikir lagi apa yang akan terjadi saat ia tiba di rumahnya sendiri.
Plakkkkk…..
Tamparan menyambut kedatangan Rara, disaksikan banyak keluarga dan tetangga dia ditendang oleh ayahnya sendiri, ibunya hanya bisa duduk diam sambil menangis dipelukannya Tante Ani saudara ibunya. Pukulan yang dia dapatkan dari ayahnya masih berbekas di tubuhnya sampai saat ini, mempermalukan keluarga tidak setimpal dengan apa yang dialaminya. Cibiran, bisikan dan mata yang menghujaninya dengan sinis, tatapan kasihan yang mengantar kepergian langkahnya saat ayahnya menyuruhnya pergi. Kedua adik kembar laki-lakinya berlari menarik baju Rara sambil menangis dan menendang tanah yang tidak tega membiarkan kakak perempuan yang selalu mengajarkan dan membantunya mengerjakan pekerjaan sekolahnya kini hanya beberapa saat Rara telah pergi, anak-anak berlarian melihat kepergiannya sampai anak-anak itu tidak lagi pergi jauh karena teriakan orang tuanya.
“sudah lama menunggu….?” Sahut Fais mengejutkannya dan membuyarkan lamunan masa lalunya. Siang itu sepulang mengajar, Fais mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota Pinrang entah ada apa dengan laki-laki ini tiba-tiba mengajaknya keluar. Walaupun kota kecil tetapi kota Rara banyak menyimpan kenangan baginya, hari ini setelah menikmati es cendol di lapangan Lasinrang, Fais kembali meluncur dengan mobil silver Avansa. Dia membawa gadis itu menuju ke Stadion Bau Massepe tempat yang tidak pernah dikunjungi oleh Rara.
Suasana begitu Ramai seperti perayaan 17 Agustus, siswa-siswa SMA dan SMK mondar-mandir mendirikan tenda di sekitar stadion yang cukup luas itu, yang memang sering di jadikan tempat berkemah siswa-siswa Pramuka. Rara tidak tahu mengapa Fais mengajaknya ketempat ini, meskipun dia guru dan mengajar di salah satu sekolah yang ikut perkemahan ini, tetapi dia tidak mendapat perintah untuk mengawasi siswanya.
“ada yang ingin bertemu denganmu”ujar Fais melangkah di ikuti Rara, dia memperhatikan sekeliling Stadion, matanya meneliti satu persatu sudut, bangunan yang cukup lama dan berdiri beberapa meter dari atas kepalanya, melihat bangunan ini mengingatkannya pada gambar yang sering dilihatnya, kolloseum di Roma pikirnya tersenyum, kembali melangkah sesaat tadi langkahnya terhenti untuk berpikir bangunan bersejarah yang ada di Roma.
“kita tunggu disini saja…”ujar Fais lalu duduk di di sudut kursi, melihat kebawa, semua aktifitas terlihat jelas dari atas.
“siapa yang akan kita temui….?ohhh….” ujar Rara mengingat sesuatu mengeluarkan ponselnya.
“akhir-akhir ini aku menghubungi Tenri, tetapi kok nomornya nggak aktif..”lanjutnya mengingatkannya pada kekasih Fais, saat mendengar nama Tenri wajah Fais berubah kaku, tampak jelas diwajahnya ia sedang berpikir apa yang akan dikatakannya pada Rara mengenai gadis yang sebulan lalu memutuskan hubungannya dan memilih pergi ke Jakarta demi impiannya menjadi seorang model. Apakah ini kesempatan yang diberikan Allah padaku? bisik Rara dalam hati sambil memperbaiki jilbabnya yang tertiup angin. Mata mereka sejenak bertemu dan Fais tersenyum padanya. Tiba-tiba kejutan yang tidak pernah disangka oleh Rara dua anak laki-laki memakai seragam sekolah SMK, wajah mereka begitu mirip mengagetkan Rara muncul dari arah samping.
“kalian…!” ujar Rara menghampiri kedua anak laki-laki itu, anak laki-laki yang terakhir kali ia melihatnya masih merengek, Rara melihat secara bergantian adik kembarnya yang sudah bertambah tinggi, terakhir ia melempar senyum terima kasih kepada Fais, karena lagi-lagi berkatnya dia dapat melihat adiknya.
“bagaimana keadaan ayah dan ibu?” tanya Rara berat, sejak tadi ia ingin menanyakan keadaan orang tua yang begitu dia rindukan.
“ayah dan ibu meski tidak secara langsung, dia ingin kakak pulang”ujar Fahran yang lebih tua sejam dari Kahran.
“setiap malam ibu dan ayah secara bergantian terbangun ditengah malam dan menangis melihat foto kakak, di setiap sujud ibu dan ayah mereka merindukan kakak”lanjut Kahran sambil memasukkan buku-buku yang tadi diperlihatkan kepada Rara. Setelah  beberapa lama mereka berdua pergi karena mendapat panggilan berkumpul. Rara kembali murung hatinya berkecamuk dan penuh dosa dengan kedua orang tuanya, sampai sekarang dia seperti sulit memaafkan dirinya sendiri dan merasa malu bertemu dengan orang tua yang sudah dipermalukannya.
“semarah apapun mereka, tetap saja mereka tidak akan pernah melupakan anak yang pernah dilahirkannya, sebaiknya kamu mengunjung mereka besok “ tutur Fais mendekati Rara melihat sosok gadis yang ada dihadapannya cukup menderita sekian lama, mimpi selalu menghantui tidurnya entah karena apa? Apakah ini peringatan untuknya karena berusaha menjauh dari orang tuanya hingga dia sendiri tidak merasa tenang dalam hatinya.
Tiba-tiba kedua langkah kakinya berhenti dan terasa berat, saat menyadari dirinya saat ini hanya beberapa meter dari halaman rumahnya. Suasana yang tadinya sepi karena baru saja turun hujan begitu cepat ramai, satu persatu tetangga keluar rumah dan berkumpul, beginilah kehidupan dikampung ketika para ibu-ibu lebih cepat pergerakannnya saat menemukan hal-hal yang bisa menjadi cerita hangat buat mereka, para gadis remaja bergegas bergabung, Rara masih ingat gadis-gadis yang pernah menjadi murid-murid bohongan saat bermain sewaktu SMP kini tumbuh menjadi Remaja. Banyak sekali perubahan yang terjadi saat terakhir dia meninggalkan rumah ini tanpa pakaian kecuali yang melekat ditubuhnya serta uang yang lumayan banyak jumlahnya, tidak pernah di cari dan dipertanyakan oleh kedua orang tuanya maupun kakeknya, bersamaan itu pula terlihat jelas ayah dan ibunya berhamburan keluar menyambutnya, dengan wajah tersenyum seakan berabad-abad lamanya, mereka tidak pernah melihat anak gadis satu-satunya kini tumbuh tanpa pengawasannya. Rara masih berdiri di halaman rumah melihat kedua orang tuanya di atas bola aju (rumah panggung yang tiangnya berdiri sekitar satu meter atau lebih dan terdiri dari beberapa tiang untuk menopang).
“ayo”ujar Fais yang sejak tadi berdiri disampingnya menemani langkahnya menuju tangga, ia bahkan tidak sadar bahwa laki-laki itu masih terus menemaninya. Baru menaiki anak tangga kedua, ibunya sudah berlari tidak sabar memeluk Rara, ayahnya yang masih berdiri memperhatikannya terlihat bahagia menutupi wajah kasarnya yang tampak keriput, tidak lama kemudian ayahnya yang masih menggunakan sarung turun memeluk anak gadisnya itu. Tangis Rara kembali pecah sesaat dia berusaha menahannya menunggu reaksi kedua orang tuanya, beribu maaf terus terucap dibibirnya dan seakan semua yang terjadi saat ini hanya mimpi dan dia takut akan membuka matanya, takut kepada malaikat mimpi mempermainkannya lagi.Aku benar-benar berada diantara mereka.
Diruang tengah rumah orang tuanya yang tidak cukup luas, sudah berkumpul beberapa keluarga yang masih begitu diingat oleh Rara, hanya saja dia memiliki dua keponakan dari abangnya.
“laki-laki ini……………?” tunjuk abangnya kepada Fais mencoba mengingat sesuatu.
“kamu yang membawa Rara pergi kan…!” lanjut abangnya dia masih ingat saat mengejar adiknya Rara ketika diusir, laki-laki yang membawa Rara keluar dari kampungnya.
“kalian sudah menikah?”tanya abang lagi, menurunkan telunjuknya.
“kami akan segera menikah” ucapnya tiba-tiba melayangkan senyum pada Rara yang wajahnya pucat seketika mendengar lontaran mengejutkan dari Fais, dia tidak menyangka laki-laki yang berada disampingnya itu mengatakannya secara langsung didepan pertemuannya kembali dengan orang tuanya.
“Fais….”bisiknya pelan, dia hanya tersenyum dan cukup dengan senyumnya itu menjelaskan banyak hal pada Rara, tangannya begitu hangat karena genggaman tangan Fais yang sejak tadi sudah dirasakannya dan digenggamnya saat menaiki rumahnya. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, banyak hal yang datang secara tiba-tiba terjadi pada kehidupan seseorang sebagai ujian dari pertengkaran batinnya. Begitu pula kehidupannya akan terjadi secara berlanjut.
1 januari 2014