Keajaiban Membuka Mata
“alamatnya di mana dek ?”Tanya suara itu pelan
senyap dan hilang lalu kembali gelap, perlahan dia melihat sosok laki-laki
besar di balik cahaya titik terjauh dia memandang, betapa terkejutnya gadis itu
melihat dirinya tiba-tiba berada di ruang tanpa sudut dan hanya satu titik
cahaya. Matanya berkeliling dengan
perasaan takut untuk mencari celah, tetapi tetap saja tubuhnya yang terlanjur
mengalir rasa ketakutan membuat tubuhnya mematung, semakin bayangan sosok
laki-laki itu mendekat, semakin aliran darahnya membeku, keringat menuruni
setiap celah kulitnya, terdengar suara kasar seakan berbisik padanya, apa yang kamu lakukan di sini?. Gadis
itu hanya menatap sosok hitam yang sebentar lagi akan menelan hidupnya, tetapi
aneh ketika bayangan itu sudah menjarah dingin di sekitarnya, secepatnya
bayangan itu hilang dan beberapa detik hingga akhirnya ia bisa bernafas lega
bersamaan itu pula terasa guncangan pelan dan perlahan tubuhnya seakan
terangkat dan Brukkkkk……
“awwwww” sahutnya dengan suara kesakitan agak
terlambat, orang yang berada di samping gadis itu langsung menatapnya sinis, orang
tua yang berada setelah tatapan sinis itu tertawa bersamaan dengan suara yang
menanyakan alamat padanya. Sambil memegangi kepalanya yang terbentuk di atap
mobil, gadis itu memperhatikan sekitarnya, aku
masih berada di mobil pikirnya memperbaiki kembali posisinya, sambil
mencari buku yang tanpa sengaja dijatuhkannya saat kepalanya terbentur, malaikat mimpi sepertinya senang masuk
ditidurku, pikirknya sambil memperhatikan sampul novel yang baru saja di
bacanya, buku yang berjudul “Jack The
Giant Slayer” oleh Darren Lemke dan David Dobkin yang menceritakan tentang
petualangan jack mengalahkan para Raksasa,lagi-lagi
buku ini membuatku bermimpi buruk, benar-benar buruk. pikirnya lagi
memasukkan buku itu ke tas ranselnya.
“alamatnya dimana dek?” tanya pak supir mengulang
pertanyaannya karena tadi gadis yang menjadi penumpangnya itu tidak menjawab
saat melihatnya tertidur.
“saya tinggal di dekat pasar sentral pak, tapi
turunnya di Jalan Jenderal Sudirman saja “ katanya kembali melihat keluar
jendela hanya beberapa menit lagi dia bisa sampai di kota kelahirannya, Pinrang berseri, pikirnya lagi sekejap
menutup mata. Tangan kanannya menjulur pelan keluar jendela merasakan angin
yang bertiup menyentuh pori-pori kulitnya. Kerinduan akan kotanya sudah lama ia
rasakan, tapi baru kali ini dia akan kembali seutuhnya dan menetap setelah
kelulusannya di Universitas Makassar dan meraih gelar pendidikan S1, rencananya
dia akan mengajar di sekolah unggulan yang terdapat di Pinrang sebagai guru Bahasa
Indonesia.
“terima kasih pak” kata gadis itu setelah membayar dengan
uang pas dan tiba tepat di tempat tujuannya, sambil menarik nafas dia kembali
memperhatikan bangunan yang berdiri kokoh tepat didepannya, gerbang yang
terbuka bebas, pepohonan yang menari-nari bersama angin, diluar gerbang
terlihat beberapa warung kecil yang siap menyambut para pendatang. Tidak
seperti tempat lainnya tempat ini sudah menjadi jantung kota Pinrang,’Mesjid
Al-Munawwir’ ya…tempat ini menurutku bukan tempat biasa, mesjid ini merupakan
mesjid yang dibangun pada saat kemimpinan Bupati Andi Nawir, sesuai dengan nama
Beliau mesjid ini diberi nama Al-Munawwir, selain tempat ibadah tempat ini
dijadikan tempat beristirahat, suguhan dua buah kolam yang berisi banyak jenis
ikan emas (begitulah di daerah kami menyebutnya) ukurannya cukup besar, jika
ingin melihat ikan ini bermunculan jinak di tepi kolam, pengunjung biasanya
membawa beberapa jenis makanan yang memang diperbolehkan oleh penjaga yaitu mie
kering, makanan ikan dan uniknya lagi, ikan ini juga menyukai roti tawar yang
dicabik kecil lalu dilemparkan ke kolam, pohon yang berjajar rapi di tepi kolam
dan kolam air mancur membuat tempat ini menjadi tempat favorit gadis itu,
sebelum ia kembali kerumahnya, tidak pernah dia melewatkan tempat ini.
“ hei Ra,,!”sahut seseorang dari belakang
memperhatikan baik-baik gadis yang memintanya datang, memastikan orang yang
dilihatnya benar-benar Rara.
“kak Fais…!” balas Rara menepuk tanganya sendiri
membersihkan sisa-sisa makanan yang sudah habis bersamaan dengan kedatangan
laki-laki yang bernama Fais kakak kelas Rara saat masih SMP sekaligus teman
Rara dan juga menurutnya laki-laki itu tidak lebih sebagai motivator bagi
dirinya.
“selamat..”ujar Fais menjulurkan tanganya untuk
berjabat tangan pada Rara, sebagai ucapan kelulusannya dan diterimanya dia
menjadi guru. Beribu kekaguman selalu memutar di pikiran Rara ketika melihat
laki-laki ini, laki yang sudah menjadi teman cerita di Facebook, Twitter, SMS
dan selalu menjadi laki-laki yang siap memberikan nasehat dan semangat ketika
Rara menghadapi masalah, siap membantunya ketika dia butuh bantuan tentang
perkuliahannya hingga akhirnya peran Fais dibelakang layar membuat Rara selalu bersemangat.’apa yang aku pikirkan sekarang?’
lagi-lagi suara itu membuatnya tersadar akan sosok laki-laki yang sudah duduk
disampingnya.’Ra…sadar dia sudah menjadi
milik temanmu sendiri, dia percaya padamu’.
“hei…” panggil Fais membuyarkan lamunan Rara, sambil
menunjuk ke dalam mesjid dan menunjukkan jam padanya “shalat ashar..!”guman
Rara berdiri diikuti Fais masuk terpisah ke mesjid.
“sudah hampir malam” guman Rara memperhatikan jam
digital di Hpnya.
“sepertinya akan turun hujan” lanjut Fais melihat
langit yang tertutup awan gelap, mereka pergi secara terpisah walau Rara sempat
berpikir untuk mendapatkan tumpangan dari Fais. Rara melangkahkan kakinya
seirama dengan angin yang bertiup, gerimis membasahi jilbab gadis itu dan
dengan langkah dipercepat setengah berlari dia menghampiri pos ojek yang berada
tidak terlalu jauh dari mesjid.
“mau kemana dek..?” sahut tukang ojek menghampiri
Rara yang berteduh.
“ke Jalan Melati pak,”
“Neng Rara toh..!” ujar tukang ojek satunya berdiri
menghampirinya.
“pak Joko” katanya berbalik suara tukang ojek yang
tidak asing ditelinganya itu mengingatkan pada tetangganya sendiri, dan benar
saja setelah memperhatikan laki-laki berumur 50 tahun dengan dialek Jawa yang
tidak pernah berubah dan sangat kental terus melekat diingatannya tentang keluarga
pak joko yang sudah menjadi tetangganya empat tahun lalu, dan pak joko seperti
bagian keluarganya sendiri. Setelah beberapa menit hujan yang tadinya begitu
deras akhirnya mereda walau rintik-rintik masih enggan berhenti, dengan diantar
oleh pak joko sendiri, Rara tiba di rumahnya, kakinya terhenti memperhatikan
rumah kontrakannya, berharap seseorang berdiri di depan pintunya tertawa
menyambut kedatangannya. ‘Ayah, ibu dan
adik-adikku’ pikirnya kembali mengayunkan langkah membuka pintu, dua tahun
ia meninggalkan rumah kontrakannya dan kini rumah ini akan menjadi saksi apa
yang akan dilakukannya di kota ini. Setelah memasuki rumah dan melihat-lihat,
suasananya masih sama meski Rara menyebutnya rumah kontrakan tetapi sebenarnya
rumah ini bukan lagi kontrakan tetapi sudah menjadi miliknya sejak dua tahun
lalu, Rara membuka pintu kamar, keadaan rumah begitu bersih dan tanpa debu
sedikitpun, berkat istri pak joko yang selalu datang membersihkan rumah
ini. Gadis itu merebahkan tubuhnya di
kasur mengingat kakeknya yang sudah memberikan rumah ini atas namanya,’besok aku harus ke makam kakek’.
“kak Rara….”sahut seseorang dari luar
“Rasmi…” ujar Rara menghampiri suara gadis itu,
tidak lama kemudian terdengar tiga suara anak laki-laki berlarian masuk
memanggil nama Rara, mereka berempat adalah anak pak joko, mendengar kedatangan
Rara mereka langsung melompat pagar jalan tercepat masuk ke halaman rumah Rara.
“kamu sudah kelas berapa sekarang?”katanya menyambut
anak-anak itu dan tidak lupa ia memberikan oleh-oleh yang dibelinya saat
perjalanan pulang.
“kelas 1 SMA, masa kakak lupa ! kemarinkan aku
nelpon kakak, aku diterima di SMA unggulan itu dan kakak memberitahuku kalau
kakak akan mengajar di sekolah kami” ujar Rasmi merangkul manja dilengan Rara.
Sebulan
berlalu Rara begitu menikmati profesinya sebagai pengajar, kecintaannya pada
cita-cita yang sudah lama menoreh sejak kecil itu membuatnya begitu menikmati
kehidupannya, tetapi dibalik senyum gadis itu tidak lengkap, tanpa kehadiran
ayah dan ibunya. Rara masih ingat betul kejadian yang membuatnya harus diusir
dan hidup sendiri di kota Makassar membiayai kuliahnya sendiri, dan terkadang
kakeknya membantunya sedikit, kejadian itu saat Rara sudah lulus SMA dan ingin
sekali melanjutkan pendidikannya, tetapi Rara tidak bisa berkutik saat sebulan
kemudian orang tuanya memberitahu tanggal pernikahannya, usia 16 tahun menurut
keluarga adalah umur yang sudah cukup untuk menikah, Rara hanya bisa terdiam
saat acara Mappattuada (bugis pinrang
yang berarti lamaran kedua yang menentukan hari pernikahan) sudah Pattu (sudah diputuskan). Hidup
dikeluarga yang miskin dan orang tua yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah
dan buta huruf membuat keputusan satu-satunya bagi wanita seusia Rara harus
dilepaskan kepada orang lain atau suami, pemikiran seperti itu terutama di
daerah terpencil kota pinrang adalah hal yang wajar, dihari pernikahannya
dengan menggunakan Sigara (baju yang
dipakai dalam pernikahan adat bugis pinrang) melekat indah ditubuhnya sesaat
sebelum bertemu dengan mempelai pria dan Ijab Qabul, matanya sembab gara-gara
menangis, tatapannya kosong, meski dikamarnya sudah disulap seindah mungkin,
tetap saja wajahnya tak pernah menyetujui, dia tidak ingin mimpinya terhenti
hanya gara-gara pernikahan sepihak ini, entah bisikan apa yang membuatnya
tiba-tiba berdiri menuju pintu menyuruh anak-anak kecil yang sejak tadi
mengelilinginya keluar, dan mengunci pintu. Tanpa berpikir Rara mencopot satu
persatu Pakaian yang digunakannya, Make up diwajahnya secepat dihapus,
Rambutnya yang keras akibat riasan dibiarkan begitu saja, dia meraih ponsel
milik abangnya dan beberapa lembar uang yang lumayan banyak dimasukkan dalam
tas kecilnya, uang itu masih menjadi
miliknya dia tidak lagi menghitung seberapa banyak uang dibawanya, seingatnya
uang bertuliskan 10 juta di ikatan uang kertas merah itu terbaca jelas.
Hari
itu Rara tidak pernah berpikir bagaimana ia bisa lolos dari keramaian orang
dengan langkah hati-hati dan menutupi wajahnya dengan jilbab dan topi, Rara
berlari memanggil ojek dan membawanya sejauh ia bisa hilang dari keluarganya,
dengan menggunakan pete-pete ia menuju ke kota pare-pare dan di sanalah Rara
baru sadar apa yang dilakukannya sekarang dan mengapa ia bisa sejauh ini dari
rumahnya sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukannya Rara meraih Hp abangnya dan
menghubungi Nomor yang sudah dihafalnya.
Terdengar suara motor berhenti dibelakangnya, saat
itu hari mulai gelap dan Rara menikmati kaburnya di tepi pantai Pare-pare
sendiri menunggu kedatangan seseorang.
“kamu gila?” ujar seseorang tiba-tiba meletakkan
helmnya disamping Rara dan ikut duduk.
“aku tidak tahu harus kemana?”guman Rara pelan, dia
tidak bisa lagi menangis air matanya seperti terkuras kering.
“biar aku yang membawamu pulang”bujuk Fais menarik
lengan Rara, dia hanya mengikuti Fais dan tidak berpikir lagi apa yang akan
terjadi saat ia tiba di rumahnya sendiri.
Plakkkkk…..
Tamparan menyambut kedatangan Rara, disaksikan
banyak keluarga dan tetangga dia ditendang oleh ayahnya sendiri, ibunya hanya
bisa duduk diam sambil menangis dipelukannya Tante Ani saudara ibunya. Pukulan
yang dia dapatkan dari ayahnya masih berbekas di tubuhnya sampai saat ini,
mempermalukan keluarga tidak setimpal dengan apa yang dialaminya. Cibiran,
bisikan dan mata yang menghujaninya dengan sinis, tatapan kasihan yang
mengantar kepergian langkahnya saat ayahnya menyuruhnya pergi. Kedua adik
kembar laki-lakinya berlari menarik baju Rara sambil menangis dan menendang
tanah yang tidak tega membiarkan kakak perempuan yang selalu mengajarkan dan
membantunya mengerjakan pekerjaan sekolahnya kini hanya beberapa saat Rara
telah pergi, anak-anak berlarian melihat kepergiannya sampai anak-anak itu
tidak lagi pergi jauh karena teriakan orang tuanya.
“sudah lama menunggu….?” Sahut Fais mengejutkannya
dan membuyarkan lamunan masa lalunya. Siang itu sepulang mengajar, Fais
mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota Pinrang entah ada apa dengan
laki-laki ini tiba-tiba mengajaknya keluar. Walaupun kota kecil tetapi kota
Rara banyak menyimpan kenangan baginya, hari ini setelah menikmati es cendol di
lapangan Lasinrang, Fais kembali meluncur dengan mobil silver Avansa. Dia membawa
gadis itu menuju ke Stadion Bau Massepe tempat yang tidak pernah dikunjungi
oleh Rara.
Suasana begitu Ramai seperti perayaan 17 Agustus,
siswa-siswa SMA dan SMK mondar-mandir mendirikan tenda di sekitar stadion yang
cukup luas itu, yang memang sering di jadikan tempat berkemah siswa-siswa
Pramuka. Rara tidak tahu mengapa Fais mengajaknya ketempat ini, meskipun dia
guru dan mengajar di salah satu sekolah yang ikut perkemahan ini, tetapi dia
tidak mendapat perintah untuk mengawasi siswanya.
“ada yang ingin bertemu denganmu”ujar Fais melangkah
di ikuti Rara, dia memperhatikan sekeliling Stadion, matanya meneliti satu
persatu sudut, bangunan yang cukup lama dan berdiri beberapa meter dari atas
kepalanya, melihat bangunan ini mengingatkannya pada gambar yang sering
dilihatnya, kolloseum di Roma pikirnya
tersenyum, kembali melangkah sesaat tadi langkahnya terhenti untuk berpikir
bangunan bersejarah yang ada di Roma.
“kita tunggu disini saja…”ujar Fais lalu duduk di di
sudut kursi, melihat kebawa, semua aktifitas terlihat jelas dari atas.
“siapa yang akan kita temui….?ohhh….” ujar Rara
mengingat sesuatu mengeluarkan ponselnya.
“akhir-akhir ini aku menghubungi Tenri, tetapi kok nomornya
nggak aktif..”lanjutnya mengingatkannya pada kekasih Fais, saat mendengar nama
Tenri wajah Fais berubah kaku, tampak jelas diwajahnya ia sedang berpikir apa
yang akan dikatakannya pada Rara mengenai gadis yang sebulan lalu memutuskan
hubungannya dan memilih pergi ke Jakarta demi impiannya menjadi seorang model. Apakah ini kesempatan yang diberikan Allah
padaku? bisik Rara dalam hati sambil memperbaiki jilbabnya yang tertiup
angin. Mata mereka sejenak bertemu dan Fais tersenyum padanya. Tiba-tiba
kejutan yang tidak pernah disangka oleh Rara dua anak laki-laki memakai seragam
sekolah SMK, wajah mereka begitu mirip mengagetkan Rara muncul dari arah
samping.
“kalian…!” ujar Rara menghampiri kedua anak
laki-laki itu, anak laki-laki yang terakhir kali ia melihatnya masih merengek,
Rara melihat secara bergantian adik kembarnya yang sudah bertambah tinggi,
terakhir ia melempar senyum terima kasih kepada Fais, karena lagi-lagi
berkatnya dia dapat melihat adiknya.
“bagaimana keadaan ayah dan ibu?” tanya Rara berat,
sejak tadi ia ingin menanyakan keadaan orang tua yang begitu dia rindukan.
“ayah dan ibu meski tidak secara langsung, dia ingin
kakak pulang”ujar Fahran yang lebih tua sejam dari Kahran.
“setiap malam ibu dan ayah secara bergantian
terbangun ditengah malam dan menangis melihat foto kakak, di setiap sujud ibu
dan ayah mereka merindukan kakak”lanjut Kahran sambil memasukkan buku-buku yang
tadi diperlihatkan kepada Rara. Setelah
beberapa lama mereka berdua pergi karena mendapat panggilan berkumpul.
Rara kembali murung hatinya berkecamuk dan penuh dosa dengan kedua orang
tuanya, sampai sekarang dia seperti sulit memaafkan dirinya sendiri dan merasa
malu bertemu dengan orang tua yang sudah dipermalukannya.
“semarah apapun mereka, tetap saja mereka tidak akan
pernah melupakan anak yang pernah dilahirkannya, sebaiknya kamu mengunjung
mereka besok “ tutur Fais mendekati Rara melihat sosok gadis yang ada
dihadapannya cukup menderita sekian lama, mimpi selalu menghantui tidurnya entah
karena apa? Apakah ini peringatan untuknya karena berusaha menjauh dari orang
tuanya hingga dia sendiri tidak merasa tenang dalam hatinya.
Tiba-tiba kedua langkah
kakinya berhenti dan terasa berat, saat menyadari dirinya saat ini hanya
beberapa meter dari halaman rumahnya. Suasana yang tadinya sepi karena baru
saja turun hujan begitu cepat ramai, satu persatu tetangga keluar rumah dan
berkumpul, beginilah kehidupan dikampung ketika para ibu-ibu lebih cepat
pergerakannnya saat menemukan hal-hal yang bisa menjadi cerita hangat buat
mereka, para gadis remaja bergegas bergabung, Rara masih ingat gadis-gadis yang
pernah menjadi murid-murid bohongan saat bermain sewaktu SMP kini tumbuh
menjadi Remaja. Banyak sekali perubahan yang terjadi saat terakhir dia meninggalkan
rumah ini tanpa pakaian kecuali yang melekat ditubuhnya serta uang yang lumayan
banyak jumlahnya, tidak pernah di cari dan dipertanyakan oleh kedua orang
tuanya maupun kakeknya, bersamaan itu pula terlihat jelas ayah dan ibunya
berhamburan keluar menyambutnya, dengan wajah tersenyum seakan berabad-abad
lamanya, mereka tidak pernah melihat anak gadis satu-satunya kini tumbuh tanpa
pengawasannya. Rara masih berdiri di halaman rumah melihat kedua orang tuanya
di atas bola aju (rumah panggung yang
tiangnya berdiri sekitar satu meter atau lebih dan terdiri dari beberapa tiang
untuk menopang).
“ayo”ujar Fais yang sejak tadi berdiri disampingnya
menemani langkahnya menuju tangga, ia bahkan tidak sadar bahwa laki-laki itu
masih terus menemaninya. Baru menaiki anak tangga kedua, ibunya sudah berlari
tidak sabar memeluk Rara, ayahnya yang masih berdiri memperhatikannya terlihat
bahagia menutupi wajah kasarnya yang tampak keriput, tidak lama kemudian
ayahnya yang masih menggunakan sarung turun memeluk anak gadisnya itu. Tangis
Rara kembali pecah sesaat dia berusaha menahannya menunggu reaksi kedua orang
tuanya, beribu maaf terus terucap dibibirnya dan seakan semua yang terjadi saat
ini hanya mimpi dan dia takut akan membuka matanya, takut kepada malaikat mimpi
mempermainkannya lagi.Aku benar-benar
berada diantara mereka.
Diruang tengah rumah orang tuanya yang tidak cukup
luas, sudah berkumpul beberapa keluarga yang masih begitu diingat oleh Rara,
hanya saja dia memiliki dua keponakan dari abangnya.
“laki-laki ini……………?” tunjuk abangnya kepada Fais
mencoba mengingat sesuatu.
“kamu yang membawa Rara pergi kan…!” lanjut abangnya
dia masih ingat saat mengejar adiknya Rara ketika diusir, laki-laki yang
membawa Rara keluar dari kampungnya.
“kalian sudah menikah?”tanya abang lagi, menurunkan
telunjuknya.
“kami akan segera menikah” ucapnya tiba-tiba
melayangkan senyum pada Rara yang wajahnya pucat seketika mendengar lontaran
mengejutkan dari Fais, dia tidak menyangka laki-laki yang berada disampingnya
itu mengatakannya secara langsung didepan pertemuannya kembali dengan orang
tuanya.
“Fais….”bisiknya pelan, dia hanya tersenyum dan
cukup dengan senyumnya itu menjelaskan banyak hal pada Rara, tangannya begitu
hangat karena genggaman tangan Fais yang sejak tadi sudah dirasakannya dan
digenggamnya saat menaiki rumahnya. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan,
banyak hal yang datang secara tiba-tiba terjadi pada kehidupan seseorang
sebagai ujian dari pertengkaran batinnya. Begitu pula kehidupannya akan terjadi
secara berlanjut.
1 januari 2014