Selasa, 23 Juli 2013

LAPORAN STUDI WISATA TANA TORAJA(BABY GRAVE)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sebagaimana kita ketahui bahwa kebudayaan dan sastra adalah segala hasil buah akal manusia yang terdiri dari beberapa unsur yaitu: Unsur Cipta, Rasa, dan Karsa. Hal inilah yang mendorong kami sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk bertolak dari Makassar ke Tana Toraja (Tator). Pengajaran Sastra adalah salah satu mata kuliah yang sedang kami programkan, bertolak ke Tana Toraja merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pengajaran Sastra, dan salah satu upaya kami untuk bisa mengetahui hal-hal yang kami belum ketahui selama ini karena tempat ini adalah salah satu tempat di mana kelestariannya sangatlah dijaga dan akan terus dilestarikan serta dibudayakan, karena ini satu-satunya aset terbesar bahkan  menarik perhatian para wisatawan asing yang datang dari berbagai Negara maupun para wisatawan dalam negeri seperti kami mahasiswa dari Unismuh jurusan Bahasa dan sastra Indonesia.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku bugis sidenreng dan dari luwu. Orang sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan Toriaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang luwu menyebutnya Toriajang yang artinya adalah ”orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata toraya asal To=Tau (orang), Raya=Dari kata Meraya (besar, artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutannya menjadi Toraja, dan kata tana berarti Negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah ”negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

batang pohon. Kuburan bayi tersebut dijadikan objek wisata yang dikenal dengan Objek Wisata baby Grave Kambira. Rasa penasaran, rasa keingintahuan, tantangan serta ingin menambah pengetahuan yang masih minim agar dapat lebih mendalam lagi yang membawa kami untuk bisa bercengkrama dengan alam sekitarnya.
B.       GAMBARAN UMUM
“Baby Grave”, itulah istilah yang biasa didengar dan biasa disebut-sebut oleh masyarakat setempat. Tempat ini jauh dari keramain kota dan menurut informasi dari masyarakat setempat,  Baby Grave yang terdapat di Tana Toraja (Tator) ini umurnya diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun (100-200 tahun). Bayi yang meninggal yang bisa di kubur dalam pohon tersebut adalah bayi yang belum memiliki gigi dan bayi dari keluarga orang-orang dermawan atau petinggi dari Tana Toraja, serta pohon yang digunakan bukanlah sembarang pohon. Pohon yang digunakan adalah pohon yang disebut pohon Tarra. Mengapa harus pohon Tarra? Karena pohon Tarra adalah pohon yang memiliki banyak getah putih dan menurut kepercayaan orang-orang toraja (kepercayaan turun-temurun dari orang-orang terdahulu) yang memeluk kepercayaan animisme, getah putih yang dimiliki oleh pohon Tarra itu sebagai pengganti air susu atau ASI, maka dari itu bayi yang telah meninggal langsung dimakamkan dalam pohon Tarra tersebut. Karena bayi yang baru lahir tersebut dianggap masih hidup makanya di makamkan dalam pohon Tarra yang memiliki banyak getah putih.
Bisa dikatakan perjalanan dari Ibukota provinsi Sulawesi Selatan yaitu kota Makassar menuju Tana Toraja bak seperti menaiki sebuah anak tangga, karena berawal dari pedalaman lalu menuju ke ketinggian. Karena Toraja merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan terdapat ketinggian maka dari itu ada dua persepsi mengenai nama toraja yaitu:
-       Tana Toraja (orang dari ketinggian)
-       Tana Toraja (tanahnya para raja-raja/asalnya raja-raja)
Objek wisata Baby Grave atau kuburan bayi yang terdapat dalam pohon tarra, termasuk salah satu tempat wisata yang mudah dicapai tempatnya karena dapat diakses dengan alat transportasi seperti pada lumrahnya yang masyarakat gunakan. Baby Grave bisa dikatakan sebuah tempat yang mistis karena menurut masyarakat setempat di tempat tersebut sering terdengar suara anak bayi yang sedang bermain dan sedang cekikikan (tertawa) ataupun suara anak bayi yang sedang menangis. Maka dari itu menurut kepercayaan masyarakat setempat suara-suara anak bayi tersebut berasal dari pohon Tarra yang di tempati untuk mengubur bayi tersebut. Namun perlahan kepercayaan itu sendiri mulai pudar semenjak masuknya agama khatolik dan agama islam di Tana Toraja.
Baby Grave termasuk tempat yang amat rapi dan asri. Tempat ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun, pepohonan yang dominan sepanjang mata memandang adalah pohon bambu yang amat kokoh dan tidak terkalahkan oleh waktu, keasrian serta kebersihan wilayah sekitar Baby Grave, tidak terlepas juga dengan perhatian masyarakat setempat, yang selalu menjaga kelestarian aset yang begitu berharga, aset yang begitu bersejarah dan merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang dahulu masih menganut kepercayaan animisme.
Mata dan pemikiran kami sangat dipenuhi dengan beribu-ribu bahkan berjuta-juta pertanyaan ketika kami diberikan kepercayaan untuk meneliti sebuah tempat yaitu Baby Grave, tempat dimana seorang bayi di kuburkan dalam sebatang pohon dan di pohon tersebutlah dapat kita lihat dan menelaah bahwa masyarakat Toraja sangat menomor satukan yang namanya tingkatan sosial di masyarakat. Karena melalui kuburan bayi yang di sebuah batang pohon tarra tersebut kami dapat melihat sendiri dari tingkatan-tingkatan makam bayi yang terdapat dalam pohon tersebut.
C.      FOKUS OBJEK YANG DITELITI
Objek wisata yang menjadi fokus penelitian kami (kelompok III) yaitu Objek Wisata Baby Grave Kambira. Salah satu objek wisata yang berada di Tana Toraja Utara yang memiliki keunikan yang luar biasa, mengapa dikatakan luar biasa karena tempat tersebut satu-satunya tempat penguburan yang dikhususkan untuk bayi dan yang lebih unik lagi karena kuburan tersebut berada di sebuah pohon yang disebut pohon Tarra. (wahyuni.2013)
       Adapun fokus kami dalam penelitian studi wisata Tana Toraja dengan tujuan:
·         Mengetahui seluk beluk objek wisata Baby Grave.
·         Mengetahui sejarah Baby Grave.
·         Mengetahui persepsi dan perilaku masyarakat terhadap objek wisata.
·         Mengetahui keterkaitan objek wisata dengan faktor ekonomi,budaya nasional,agama dan politik nasional.
D. RUMUSAN MASALAH
·         Bagaimana seluk beluk objek wisata Baby Grave?
·         Bagaimana sejarah Baby Grave?
·         Bagaimana persepsi dan perilaku masyarakat terhadap objek wisata?
·         Bagaimana keterkaitan objek dengan faktor ekonomi,budaya nasional, agama dan politik nasional?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    SELUK BELUK
Kuburan Bayi ini terletak di atas pengunungan kurang lebih 70 meter dari Bari. Lokasi  ini sekitar 15 km dari kota Rantepao, dimana di tempat ini banyak pohon bambu besar dalam bahasa tatornya  Pattung ini biasanya digunakan apabilah ada acara baik acara Rambu Solo maupun Rambu Tuka. Penguburan ini tidak seperti penguburan Bayi pada umumnya tapi penguburan ini terdapat di pohon. Namun tidak semua pohon yang bisa dijadikan sebagai tempat penguburan, hanya pohon-pohon tertentu yang memenuhi unsur salah satunya yang paling dominan digunakan yaitu pohon Tarra, di dalam pohon tarra itulah bayi di kubur.
Baby Grave termasuk tempat yang sangat rapi dan indah karena dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Suasana di Baby Grave juga sangat nyaman dan damai, dengan banyaknya pepohonan membuat suasana jadi sejuk dan disekeliling daerah Baby Grave juga nyaman karena masyarakat setempat begitu mendukung (Ibrahim zane.2013)
B.     SEJARAH
  Baby Grave merupakan tempat penguburan bayi. Bayi yang dianggap masih suci, bayi yang belum tumbuh giginya dan yang belum berdosa, karena bayi yang belum tumbuh gigi dan masih suci menurut kepercayaan orang-orang terdahulu bayi tersebut akan menyatu dengan pohon dan dianggp masih hidup.
“Baby Grave Kambira”. Tempat wisata yang berada di Sulawesi Selatan tepatnya di kabupaten Tana Toraja (Tator). Baby Grave dijadikan sebagai objek wisata, salah satu objek wisata yang yang terunik di Sulawesi Selatan. Dengan kemistisannya dan juga tempatnya yang juga sangat unik. Tempat wisata ini termasuk tempat wisata yang banyak dikunjungi bukan hanya wisatawan dalam daerah Sulawesi Selatan saja, di luar Sulawesi Selatan bahkan wisatawan asing datang dari berbagai Negara banyak yang  mengunjungi tempat yang begitu unik tersebut. (Ibrahim Zane, 2013)    
 Tempat tersebut diperkirakan telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pendapat mengenai hal tersebut, ada yang memperkirakan Baby Grave ada sejak 300 tahun yang lalu, ada juga yang mengatakan Baby Grave masih berumur sekitar 100-200 tahun. Mengapa tempat ini disebut atau diberi nama Baby Grave? Karena ratusan tahun yang lalu orang-orang dahulu (nenek moyang) mengubur bayi dalam sebuah batang pohon yang disebut pohon tarra. Mengapa harus dalam pohon Tarra? Karena pohon tersebut memiliki getah putih, getah putih inilah yang dianggap dapat menjadi air susu bagi si bayi yang di kubur dalam pohon tersebut. Wahyuni (dalam Mastan, 2013)
C.      PERSEPSI DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP BABY  GRAVE
“Baby Grave Kambira merupakan salah satu objek wisata yang sangat unik yang terdapat di Tana Toraja Utara (Tator), mengapa dikatakan sangat unik karena objek wisata tersebut memiliki cirri khas tersendiri yang tidak ada di tempat wisata yang lain baik di Sulawesi Selatan maupun di luar Sulawesi bahkan di luar negeri pun tidak terdapat tempat seperti objek wisata Baby Grave. Oleh karena itu tempat ini sangat digemari oleh para wisatawan, baik wisata dalam negeri maupun dari touris luar negeri yang sangat penasaran dengan keunikan Baby Grave tersebut. (Wahyuni, 2013)
Baby Grave adalah nama objek wisata yang kerap digunakan masyarakat, karena di tempat tersebut merupakan tempat penguburan anak bayi yang baru lahir dan yang membuat unik adalah anak bayi yang meninggal di kubur dalam sebuah batang pohon yang warga setempat (tana toraja) sebut dengan pohon Tarra atau pohon Tipulu. Dalam pohon Tarra inilah anak bayi yang baru meninggal, bayi yang dianggap masih suci atau belum memiliki dosa di kubur, dan mengapa pohon Tarra menjadi pilihan tempat untuk mengubur bayi yang meninggal tersebut karena pohon tersebut memiliki getah putih yang cukup banyak dan getah itulah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu (ASI) bayi tersebut.
   Masyarakat setempat memperkirakan Baby Grave ada sekitar 100-300 tahun yang lalu. Anggapan masyarakat inilah yang membuat Baby Grave semakin digemari para pengunjung karena umur Baby Grave yang dianggap sudah cukup tua membuat para wisatawan semakin penasaran untuk mengunjungi tempat wisata tersebut.  Masyarakat setempat juga sangat menjaga kelestarian lingkungan Baby Grave  karena tempat tersebut dianggap sebagai warisan dari nenek moyang atau orang-orang terdahulu tana toraja yang harus dijaga dan dilestarikan serta diabadikan keberadaannya. (Wahyuni dalam Mastan,2013)
D.      KETERKAITAN OBJEK WISATA DENGAN FAKTOR EKONOMI,  BUDAYA NASIONAL, AGAMA, DAN POLITIK NASIONAL
Adapun keterkaitan objek yang diteliti dengan beberapa faktor dibawah ini :
1.        FAKTOR EKONOMI
 Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Kebanyakan masyarakat Toraja hidup sebagai petani.Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili.Perkenonomian di Tana Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap 6 hari. Ke enam pasar yang ada ialah:
  1. Pasar Makale
  2. Pasar Rantepao
  3. Pasar Ge'tengan
  4. Pasar Sangalla'
  5. Pasar Rembon
  6. Pasar Salubarani
2.    FAKTOR BUDAYA NASIONAL
1.    Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
2.    Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

3.      Upacara pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah(Hasria.2013)
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman yaitu peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
4.      Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong)Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
 Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
3.     FAKTOR AGAMA
  Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
  Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
4.        POLITIK NASIONAL
Kehidupan masyarakat Tana Toraja sangat berhubungan erat kehidupan luar terutama masyarakat luar yang berkunjung terutama upacara adat yang dilakukan masyarakat tana toraja sehingga bangsawan tana toraja yang mempunyai hubungan erat dengan pemuka politik jauh-jauh mengunjungi daerah ini dan menyumbangkan beberapa ekor kerbau yang harganya sampai milyaran rupiah untuk itulah hubungan politik yang terjalin dalam masyarakat menimbulkan daya tarik sendiri.(Hasria.H, 2013)

BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
            Tana Toraja merupakan salah kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki banyak kebudayaan daerah serta tempat wisata yang begitu unik dan menarik.Budaya masyarakat Tana Toraja memiliki nilai-nilai kehidupan sosial yang telah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang kepada generasi selanjutnya yang masih terjaga hingga saat ini.
            Tana Toraja menjadi tempat wisata yang begitu banyak di minati dari berbagai kalangan. Tempat wisata yang ada di Toraja harus tetap di jaga dan dilestarikan. Terkhusus objek wisata baby grave, objek wisata yang sangat unik, yang banyak menyimpan misteri.Objek wisata Baby Grave yang merupakan objek wisata yang hanya ada di Tana Toraja provinsi Sulawesi Selatan memiliki keunikan tersendiri yang tetap harus dijaga dan dilestarikan sebagai warisan nenek moyang masyarakat toraja yang harus selalu dikenang.
B.     SARAN
            Segala bentuk kebudayaan dan objek wisata yang ada di Toraja hendakanya tetap dijaga dan dilestarikan, dan hal ini pastinya membutuhkan perhatian serta tidak lepas dari peranan masyarakat Sulawesi selatan khususnya masyarakat toraja itu sendiri.
            Tana toraja adalah daerah yang memiliki potensi wisata yang luar biasa oleh karena itu objek wisata tersebut juga membutuhkan perhatian dari pemerintah Tana Toraja agar memiliki kebijakan untuk tetap menjadikan daerah Tana Toraja sebagai tempat wisata yang terkenal, yang sanggup berkompetisi di dunia kepariwisataan.




 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar