BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kebudayaan dan sastra adalah segala hasil buah akal manusia
yang terdiri dari beberapa unsur yaitu: Unsur Cipta, Rasa, dan Karsa. Hal
inilah yang mendorong kami sebagai Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk bertolak dari Makassar ke Tana Toraja (Tator). Pengajaran
Sastra adalah salah satu mata kuliah yang sedang kami programkan, bertolak ke
Tana Toraja merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pengajaran
Sastra, dan salah satu upaya kami untuk bisa mengetahui hal-hal yang kami belum
ketahui selama ini karena tempat ini adalah salah satu tempat di mana
kelestariannya sangatlah dijaga dan akan terus dilestarikan serta dibudayakan,
karena ini satu-satunya aset terbesar bahkan
menarik perhatian para wisatawan asing yang datang dari berbagai Negara
maupun para wisatawan dalam negeri seperti kami mahasiswa dari Unismuh jurusan
Bahasa dan sastra Indonesia.
Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku bugis sidenreng dan dari luwu. Orang
sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan Toriaja yang mengandung
arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang luwu
menyebutnya Toriajang yang artinya adalah ”orang yang berdiam di sebelah barat”.
Ada juga versi lain bahwa kata toraya asal To=Tau (orang), Raya=Dari kata
Meraya (besar, artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutannya
menjadi Toraja, dan kata tana berarti Negeri, sehingga tempat pemukiman suku
Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah
Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti
harfiahnya adalah ”negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini
dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
batang
pohon. Kuburan bayi tersebut dijadikan objek wisata yang dikenal dengan Objek
Wisata baby Grave Kambira. Rasa penasaran, rasa keingintahuan, tantangan serta
ingin menambah pengetahuan yang masih minim agar dapat lebih mendalam lagi yang
membawa kami untuk bisa bercengkrama dengan alam sekitarnya.
B.
GAMBARAN
UMUM
“Baby
Grave”, itulah istilah yang biasa didengar dan biasa disebut-sebut oleh
masyarakat setempat. Tempat ini jauh dari keramain kota dan menurut informasi
dari masyarakat setempat, Baby Grave
yang terdapat di Tana Toraja (Tator) ini umurnya diperkirakan sudah mencapai
ratusan tahun (100-200 tahun). Bayi yang meninggal yang bisa di kubur dalam
pohon tersebut adalah bayi yang belum memiliki gigi dan bayi dari keluarga
orang-orang dermawan atau petinggi dari Tana Toraja, serta pohon yang digunakan
bukanlah sembarang pohon. Pohon yang digunakan adalah pohon yang disebut pohon
Tarra. Mengapa harus pohon Tarra? Karena pohon Tarra adalah pohon yang memiliki
banyak getah putih dan menurut kepercayaan orang-orang toraja (kepercayaan
turun-temurun dari orang-orang terdahulu) yang memeluk kepercayaan animisme,
getah putih yang dimiliki oleh pohon Tarra itu sebagai pengganti air susu atau
ASI, maka dari itu bayi yang telah meninggal langsung dimakamkan dalam pohon Tarra
tersebut. Karena bayi yang baru lahir tersebut dianggap masih hidup makanya di
makamkan dalam pohon Tarra yang memiliki banyak getah putih.
Bisa
dikatakan perjalanan dari Ibukota provinsi Sulawesi Selatan yaitu kota Makassar
menuju Tana Toraja bak seperti menaiki sebuah anak tangga, karena berawal dari
pedalaman lalu menuju ke ketinggian. Karena Toraja merupakan salah satu
kabupaten di Sulawesi Selatan terdapat ketinggian maka dari itu ada dua
persepsi mengenai nama toraja yaitu:
- Tana
Toraja (orang dari ketinggian)
- Tana
Toraja (tanahnya para raja-raja/asalnya raja-raja)
Objek wisata Baby Grave atau kuburan
bayi yang terdapat dalam pohon tarra, termasuk salah satu tempat wisata yang
mudah dicapai tempatnya karena dapat diakses dengan alat transportasi seperti
pada lumrahnya yang masyarakat gunakan. Baby Grave bisa dikatakan sebuah tempat
yang mistis karena menurut masyarakat setempat di tempat tersebut sering
terdengar suara anak bayi yang sedang bermain dan sedang cekikikan (tertawa)
ataupun suara anak bayi yang sedang menangis. Maka dari itu menurut kepercayaan
masyarakat setempat suara-suara anak bayi tersebut berasal dari pohon Tarra
yang di tempati untuk mengubur bayi tersebut. Namun perlahan kepercayaan itu
sendiri mulai pudar semenjak masuknya agama khatolik dan agama islam di Tana
Toraja.
Baby
Grave termasuk tempat yang amat rapi dan asri. Tempat ini dikelilingi oleh
pepohonan yang rimbun, pepohonan yang dominan sepanjang mata memandang adalah
pohon bambu yang amat kokoh dan tidak terkalahkan oleh waktu, keasrian serta
kebersihan wilayah sekitar Baby Grave, tidak terlepas juga dengan perhatian
masyarakat setempat, yang selalu menjaga kelestarian aset yang begitu berharga,
aset yang begitu bersejarah dan merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang
dahulu masih menganut kepercayaan animisme.
Mata
dan pemikiran kami sangat dipenuhi dengan beribu-ribu bahkan berjuta-juta
pertanyaan ketika kami diberikan kepercayaan untuk meneliti sebuah tempat yaitu
Baby Grave, tempat dimana seorang bayi di kuburkan dalam sebatang pohon dan di
pohon tersebutlah dapat kita lihat dan menelaah bahwa masyarakat Toraja sangat
menomor satukan yang namanya tingkatan sosial di masyarakat. Karena melalui
kuburan bayi yang di sebuah batang pohon tarra tersebut kami dapat melihat
sendiri dari tingkatan-tingkatan makam bayi yang terdapat dalam pohon tersebut.
C.
FOKUS
OBJEK YANG DITELITI
Objek wisata
yang menjadi fokus penelitian kami (kelompok III) yaitu Objek Wisata Baby Grave
Kambira. Salah satu objek wisata yang berada di Tana Toraja Utara yang memiliki
keunikan yang luar biasa, mengapa dikatakan luar biasa karena tempat tersebut
satu-satunya tempat penguburan yang dikhususkan untuk bayi dan yang lebih unik
lagi karena kuburan tersebut berada di sebuah pohon yang disebut pohon Tarra.
(wahyuni.2013)
Adapun fokus kami dalam penelitian studi wisata Tana Toraja
dengan tujuan:
·
Mengetahui seluk beluk objek wisata Baby
Grave.
·
Mengetahui sejarah Baby Grave.
·
Mengetahui persepsi dan perilaku masyarakat
terhadap objek wisata.
·
Mengetahui keterkaitan objek wisata
dengan faktor ekonomi,budaya nasional,agama dan politik nasional.
D. RUMUSAN MASALAH
·
Bagaimana seluk beluk objek wisata Baby
Grave?
·
Bagaimana sejarah Baby Grave?
·
Bagaimana persepsi dan perilaku
masyarakat terhadap objek wisata?
·
Bagaimana keterkaitan objek dengan
faktor ekonomi,budaya nasional, agama dan politik nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SELUK
BELUK
Kuburan
Bayi ini terletak di atas pengunungan kurang lebih 70 meter dari Bari. Lokasi ini sekitar 15 km dari kota Rantepao, dimana
di tempat ini banyak pohon bambu besar dalam bahasa tatornya Pattung ini biasanya digunakan apabilah ada
acara baik acara Rambu Solo maupun Rambu Tuka. Penguburan ini tidak seperti
penguburan Bayi pada umumnya tapi penguburan ini terdapat di pohon. Namun tidak
semua pohon yang bisa dijadikan sebagai tempat penguburan, hanya pohon-pohon
tertentu yang memenuhi unsur salah satunya yang paling dominan digunakan yaitu
pohon Tarra, di dalam pohon tarra itulah bayi di kubur.
Baby
Grave termasuk tempat yang sangat rapi dan indah karena dikelilingi oleh
pepohonan yang rimbun. Suasana di Baby Grave juga sangat nyaman dan damai,
dengan banyaknya pepohonan membuat suasana jadi sejuk dan disekeliling daerah
Baby Grave juga nyaman karena masyarakat setempat begitu mendukung (Ibrahim
zane.2013)
B.
SEJARAH
Baby Grave merupakan tempat penguburan bayi.
Bayi yang dianggap masih suci, bayi yang belum tumbuh giginya dan yang belum
berdosa, karena bayi yang belum tumbuh gigi dan masih suci menurut kepercayaan
orang-orang terdahulu bayi tersebut akan menyatu dengan pohon dan dianggp masih
hidup.
“Baby
Grave Kambira”. Tempat wisata yang berada di Sulawesi Selatan tepatnya di
kabupaten Tana Toraja (Tator). Baby Grave dijadikan sebagai objek wisata, salah
satu objek wisata yang yang terunik di Sulawesi Selatan. Dengan kemistisannya
dan juga tempatnya yang juga sangat unik. Tempat wisata ini termasuk tempat
wisata yang banyak dikunjungi bukan hanya wisatawan dalam daerah Sulawesi Selatan
saja, di luar Sulawesi Selatan bahkan wisatawan asing datang dari berbagai
Negara banyak yang mengunjungi tempat
yang begitu unik tersebut. (Ibrahim Zane, 2013)
Tempat tersebut diperkirakan telah ada sejak
ratusan tahun yang lalu. Banyak pendapat mengenai hal tersebut, ada yang
memperkirakan Baby Grave ada sejak 300 tahun yang lalu, ada juga yang
mengatakan Baby Grave masih berumur sekitar 100-200 tahun. Mengapa tempat ini
disebut atau diberi nama Baby Grave? Karena ratusan tahun yang lalu orang-orang
dahulu (nenek moyang) mengubur bayi dalam sebuah batang pohon yang disebut
pohon tarra. Mengapa harus dalam pohon Tarra? Karena pohon tersebut memiliki
getah putih, getah putih inilah yang dianggap dapat menjadi air susu bagi si
bayi yang di kubur dalam pohon tersebut. Wahyuni (dalam Mastan, 2013)
C.
PERSEPSI
DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP BABY GRAVE
“Baby Grave
Kambira merupakan salah satu objek wisata yang sangat unik yang terdapat di
Tana Toraja Utara (Tator), mengapa dikatakan sangat unik karena objek wisata
tersebut memiliki cirri khas tersendiri yang tidak ada di tempat wisata yang
lain baik di Sulawesi Selatan maupun di luar Sulawesi bahkan di luar negeri pun
tidak terdapat tempat seperti objek wisata Baby Grave. Oleh karena itu tempat
ini sangat digemari oleh para wisatawan, baik wisata dalam negeri maupun dari
touris luar negeri yang sangat penasaran dengan keunikan Baby Grave tersebut. (Wahyuni,
2013)
Baby
Grave adalah nama objek wisata yang kerap digunakan masyarakat, karena di
tempat tersebut merupakan tempat penguburan anak bayi yang baru lahir dan yang
membuat unik adalah anak bayi yang meninggal di kubur dalam sebuah batang pohon
yang warga setempat (tana toraja) sebut dengan pohon Tarra atau pohon Tipulu.
Dalam pohon Tarra inilah anak bayi yang baru meninggal, bayi yang dianggap
masih suci atau belum memiliki dosa di kubur, dan mengapa pohon Tarra menjadi
pilihan tempat untuk mengubur bayi yang meninggal tersebut karena pohon
tersebut memiliki getah putih yang cukup banyak dan getah itulah yang dianggap
sebagai pengganti air susu ibu (ASI) bayi tersebut.
Masyarakat setempat memperkirakan Baby Grave
ada sekitar 100-300 tahun yang lalu. Anggapan masyarakat inilah yang membuat
Baby Grave semakin digemari para pengunjung karena umur Baby Grave yang
dianggap sudah cukup tua membuat para wisatawan semakin penasaran untuk
mengunjungi tempat wisata tersebut. Masyarakat
setempat juga sangat menjaga kelestarian lingkungan Baby Grave karena tempat tersebut dianggap sebagai
warisan dari nenek moyang atau orang-orang terdahulu tana toraja yang harus
dijaga dan dilestarikan serta diabadikan keberadaannya. (Wahyuni dalam
Mastan,2013)
D.
KETERKAITAN
OBJEK WISATA DENGAN FAKTOR EKONOMI, BUDAYA
NASIONAL, AGAMA, DAN POLITIK NASIONAL
Adapun
keterkaitan objek yang diteliti dengan beberapa faktor dibawah ini :
1.
FAKTOR EKONOMI
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di
lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu
dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja
adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.Dengan dimulainya Orde Baru pada
tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi
asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha
baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang
berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk menambang,
dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Kebanyakan
masyarakat Toraja hidup sebagai petani.Komoditi andalan dari daerah Toraja
adalah sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili.Perkenonomian di Tana
Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap 6
hari. Ke enam pasar yang ada ialah:
- Pasar Makale
- Pasar Rantepao
- Pasar Ge'tengan
- Pasar Sangalla'
- Pasar Rembon
- Pasar Salubarani
2. FAKTOR BUDAYA NASIONAL
1.
Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di
atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.
Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon
("duduk").
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan
pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun
ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi
lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas
kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa
yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
2.
Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel
melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem
tulisan.Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran
kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air
seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan
contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah
melambangkan kerbau atau kekayaan,
sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah
melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga
akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan
dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan
adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan
ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di
bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi
dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
3.
Upacara
pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak
menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan
pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir,
juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang
dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi,
tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku
Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin,
dan orang kelas rendah(Hasria.2013)
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi
biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang
datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya
(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus
dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati
dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu
arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain
dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau
yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai
kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang
sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di
Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan
tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara
pemakaman yaitu peti mati dapat
disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan
waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
4.
Musik dan
Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam
beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong)Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji
keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai
ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah
dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama
upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada
ritual Ma'Bua'.
Seperti di
masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong
yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh
perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau
dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik
tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling.
Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak
berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik
lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
3. FAKTOR AGAMA
Sistem
kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam
mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi
dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya,
surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk
persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat
manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di
bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang
pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk
bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah
peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika
ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan
ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah
mulai jarang dilaksanakan.
4.
POLITIK
NASIONAL
Kehidupan masyarakat Tana Toraja sangat berhubungan erat
kehidupan luar terutama masyarakat luar yang berkunjung terutama upacara adat
yang dilakukan masyarakat tana toraja sehingga bangsawan tana toraja yang
mempunyai hubungan erat dengan pemuka politik jauh-jauh mengunjungi daerah ini
dan menyumbangkan beberapa ekor kerbau yang harganya sampai milyaran rupiah
untuk itulah hubungan politik yang terjalin dalam masyarakat menimbulkan daya
tarik sendiri.(Hasria.H, 2013)
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Tana Toraja merupakan salah
kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki banyak
kebudayaan daerah serta tempat wisata yang begitu unik dan menarik.Budaya
masyarakat Tana Toraja memiliki nilai-nilai kehidupan sosial yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang kepada generasi selanjutnya
yang masih terjaga hingga saat ini.
Tana Toraja menjadi tempat wisata
yang begitu banyak di minati dari berbagai kalangan. Tempat wisata yang ada di
Toraja harus tetap di jaga dan dilestarikan. Terkhusus objek wisata baby grave,
objek wisata yang sangat unik, yang banyak menyimpan misteri.Objek wisata Baby
Grave yang merupakan objek wisata yang hanya ada di Tana Toraja provinsi
Sulawesi Selatan memiliki keunikan tersendiri yang tetap harus dijaga dan
dilestarikan sebagai warisan nenek moyang masyarakat toraja yang harus selalu
dikenang.
B.
SARAN
Segala bentuk kebudayaan dan objek
wisata yang ada di Toraja hendakanya tetap dijaga dan dilestarikan, dan hal ini
pastinya membutuhkan perhatian serta tidak lepas dari peranan masyarakat
Sulawesi selatan khususnya masyarakat toraja itu sendiri.
Tana toraja adalah daerah yang
memiliki potensi wisata yang luar biasa oleh karena itu objek wisata tersebut
juga membutuhkan perhatian dari pemerintah Tana Toraja agar memiliki kebijakan
untuk tetap menjadikan daerah Tana Toraja sebagai tempat wisata yang terkenal,
yang sanggup berkompetisi di dunia kepariwisataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar